Demokrasi digital secara sederhana adalah
aktivitas politik yang menggunakan saluran digital, terutama web 2.0, sebagai
bentuk partisipasi politik atau penggalangan dukungan publik (Wilhem, 2003).
Demokrasi digital memiliki beberapa sifat
di antaranya adalah: sifatnya yang interaktif; proses interaktif mengandaikan
adanya komunikasi yang bersifat resiprokalitas, semua warga negara bisa
berdialog secara interaktif.
Lalu lewat demokrasi digital juga dijamin
Kebebasan berbicara; sehingga pengguna internet
atau teknologi informasi dapat mengekspresikan dirinya tanpa kontrol
yang signifikan dari penguasa. Setiap warga negara misalnya bisa secara
diskursif mengetengahkan gagasan-gagasannya yang paling gila sekalipun. Selain
itu terbentuknya komunitas virtual yang peduli terhadap kepentingan publik dan
komunikasi global yang tidak terbatas pada
satu negara-bangsa. Lewat demokrasi digital juga informasi atau kajian politik
dapat diproduksi secara bebas dan disebarkan ke ruang publik virtual untuk
diuji.
Grossman menulis tentang sinergi antara
media (web 2.0) dan demokrasi yang mewujud dalam demokrasi digital (digital
democracy).
Suatu
contoh dari penggunaan demokrasi digital
Fenomena yang sangat menarik, sebagai
contoh, dalam sejarah kontemporer demokrasi dunia dan media tentu saja kampanye
Barack Obama yang menggunakan web 2.0, seperti YouTube, MySpace dan terutama
Facebook untuk menarik donasi dari pendukungnya. Obama mendapatkan dana
kampanye sebesar 454 juta dollar Amerika Serikat (AS) dan menghabiskan 377 juta
dollar AS, tertinggi dalam sejarah Amerika dan dunia. Dari jumlah itu, sebanyak
95 persen dari situs jejaring sosial (Kompas, 1 November 2007).
Dalam sejarah demokrasi Indonesia, fenomena
facebookers adalah yang pertama dan yang sangat signifikan, khususnya sebagai
bentuk partisipasi politik masyarakat. Ada dua contoh kasus yang mengemuka
yaitu dukungan facebookers terhadap Prita Mulyasari terkait masalah dengan RS
Omni Tengerang dan Gerakan 1.000.000 facebookers yang mendukung Bibit-Chandra
yang mencapai lebih dari 1 juta pendukung. Harian Media Indonesia pada edisi 8
November 2009 menjadikannya headline.
Perlu diketahui, berdasarkan data resmi
Facebook akhir Desember 2009, Indonesia, dengan jumlah pengguna 14.681.580
berada di posisi nomer empat di bawah Amerika, Inggris, dan Turki, tetapi
dengan perkembangan yang paling pesat di bandingkan empat negera tersebut. Pada
pertengahan tahun ini, bukan tidak mungkin Indonesia menduduki peringkat kedua
mengingat jumlah penduduk kita lebih banyak dari Inggris.
Miriam Budiardjo (2008), mengutip Samuel P
Huntington dan Joan M Nelson, mengatakan, “Partisipasi politik adalah kegiatan
warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksudkan untuk
memengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah”. Partisipasi politik
masyarakat bisa dibagi menjadi dua. Pertama, partisipasi yang otonom (autonomous
participation). Kedua, partisipasi yang dimobilisasi (mobilized participation).
Partisipasi masyarakat demokrasi digital bisa masuk dua kategori tersebut. Hal
ini karena ajakan (cause) dalam internet (Facebook) bersifat otonom meski pada
awalnya dimobilisasi, seperti Gerakan 1.000.000 facebookers yang mendukung
Bibit-Chandra yang dilakukan Usman Yasin, seorang dosen Universitas Bengkulu.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, seberapa
efektif partisipasi politik masyarakat demokrasi digital melalui dunia maya
itu. Memang cukup susah menentukan, apakah bantuan teknologi tersebut efektif
atau tidak. Apakah ingar-bingar tuntutan pembebasan Bibit-Chandra disebabkan
dukungan para facebookers yang mencapai angka 1 juta lebih, tertinggi dalam
sejarah Indonesia? Atau oleh krusialnya kasus itu terutama karena menyangkut
tiga institusi penegak keadilan? Atau oleh tekanan media massa konvensional?
Atau juga oleh gerakan yang dibangun oleh lembaga non-pemerintah seperti
Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia,
Kontras, dan sebagainya? Atau juga oleh aksi unjuk rasa yang terjadi hampir di
semua daerah?
Yang bisa dikatakan di sini adalah semua
itu bisa menjadi penyebab yang terjadi secara simultan dan dinamis. Setiap
satuan penyebab saling memengaruhi dan menjadi pemicu-penyebab. Yang jelas
partisipasi masyarakat demokrasi digital juga ikut membentuk arus opini publik
dalam ruang publik cyber.
Sebagai perbandingan, partisipasi politik
masyarakat yang lebih matang demokrasinya seperti Amerika Serikat, cenderung
bersifat aksi yang terorganisasi dan terfragmen. Dalam arti, meski mereka tidak
begitu signifikan partisipasinya dalam pemilihan umum (kecuali kasus pemilihan
Obama), mereka membentuk suatu perkumpulan atau organisasi yang lebih solid yang
biasanya terfragmen dalam bingkai isu yang spesifik, katakanlah isu lingkungan,
perlindungan anak, pelestarian alam, dan sebagainya.
Menurut mereka, partisipasi politik seperti
itu lebih efektif dan signifikan ketimbang memberikan suara dan berdemonstrasi.
Juga lebih antisipatif dan tidak reaktif karena mereka sudah menguasai masalah
dan isu-isu yang berkembang juga cara-cara penanganannya (Gabriel A Almond dan
Sidney Verba dalam Budiardjo, 2008).
Dalam kasus masyarakat Indonesia, tidak ada
kecenderungan membentuk perkumpulan atau kelompok kepedulian yang modern,
sistematis, dan partisipatoris, model partisipasi politik ala facebookers
menjadi penting. Terutama sebagai bentuk suara penekan (pressure voice) dari
masyarakat bawah.
Masih banyak kegiatan yang berkaitan dengan
demokrasi digital ini, opini dari masyarakat itu sendiri sebagian ada yang pro
dan ada yang kontra tergantung pemikiran masing-masing individu. Namun
keuntungan positif dari penggunaan demokrasi secara digital ini sangat
dirasakan oleh sebagian besar orang sama seperti beberapa kasus diatas.
0 komentar:
Posting Komentar